Jakarta – Direktorat Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA-PPO) Bareskrim Polri menunjukkan respon yang sigap dengan memberikan asistensi dalam penanganan kasus asusila yang menyeret nama mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja.
Dalam kasus yang sedang ditangani oleh Polda NTT ini, prioritas utama adalah untuk memastikan bahwa proses hukum dijalankan dengan profesional, transparan, dan merupakan wujud penegakan keadilan.
Brigjen Nurul Azizah, selaku Direktur PPA-PPO Bareskrim Polri, menyatakan, “Kami memastikan korban mendapatkan hak-haknya, termasuk bantuan hukum dan perlindungan selama proses penyidikan.” Koordinasi kuat antara pihaknya, penyidik PPA Ditreskrimum Polda NTT, dan stakeholder relevan diharapkan membuahkan hasil yang adil dan tepat demi kepentingan korban.
Upaya pengawalan penegakan hukum oleh Direktorat PPA-PPO tak hanya sebatas di ranah yudisial, tetapi juga mencakup pendampingan korban secara psikologis serta mendatangkan pekerja sosial dari Dinas Sosial untuk memberikan dukungan tambahan.
Bantuan ini diharapkan dapat memberikan kekuatan moral dan psikologis bagi para korban yang telah mengalami dampak mendalam akibat peristiwa yang menimpa mereka.
Penyidikan yang dilakukan oleh Polda NTT melibatkan pemeriksaan terhadap 16 saksi termasuk korban, manajer hotel, serta personel kepolisian dan para ahli dalam bidang psikologi dan hukum.
Bukti-bukti yang telah dikumpulkan menunjukkan betapa seriusnya tindakan yang dilakukan oleh AKBP Fajar, yang disinyalir tak cuma melakukan pelecehan seksual, tetapi juga tindakan kriminal pembuatan dan penyebaran konten pornografi anak via dark web.
Di hadapan hukum yang tidak pandang bulu, Fajar dihadapkan dengan prospek hukuman berat, diikat dengan pasal dari UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan UU ITE. Ancaman hukuman yang dapat diterima mencapai maksimum 15 tahun penjara dan denda hingga satu miliar rupiah.
Sanksi pidana tidak menjadi hukuman satu-satunya yang dihadapi Fajar; sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) pada 17 Maret 2025 mengintai, dengan prospek pemecatan tidak dengan hormat (PTDH) sebagai puncak dari sanksi institusional yang mungkin diberikan.
Kasus ini mengirimkan pesan tegas kepada seluruh elemen masyarakat, bahwa tiada seorang pun, termasuk mereka yang mengenakan seragam penegak hukum, yang terlindungi dari jeratan hukum.
Kasus ini telah membuka mata banyak pihak terhadap pentingnya perlindungan hukum korban asusila, penerapan UU ITE dalam kasus-kasus pelecehan, serta pentingnya layanan bantuan psikologis bagi mereka yang telah mengalami luka batin atas perbuatan yang tidak pantas tersebut.